Beranda | Artikel
Beberapa Kesalahan Yang Terjadi Pada Bulan Rajab
Minggu, 5 Juni 2011

BEBERAPA KESALAHAN YANG TERJADI PADA BULAN RAJAB

  1. Bulan Rajab, adalah satu diantara bulan haram yang empat (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, tiga bulan yang berurutan, kemudian yang keempat adalah Rajab, yang diapit oleh bulan Jumada, yakni Jumada Tsaniah dan Sya’ban). Empat bulan ini memiliki kekhususan yang sama, tanpa terkecuali bulan Rajab.

Para ulama berselisih pendapat, diantara empat ini, mana yang paling baik. Sebagian Syafi’iyah berkata: “Yang paling baik adalah Rajab”. Tetapi pendapat ini dilemahkan oleh Imam Nawawi dan yang lainnya.

Sebagian ulama berpendapat: “Bulan Muharram”. Ini adalah pendapat Al Hasan dan dikuatkan oleh Nawawi.

Sebagian ulama berkata: ”Bulan Dzulhijjah”. Pendapat ini diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair dan selainnya. Dan inilah yang lebih kuat. Demikian, sebagaimana dinukil dalam kitab Al Latha’if, karya Ibnu Rajab Al Hambali.

Saya berkata (Syaikh Ibnu Utsaimin): Pendapat ini adalah benar. Karena dalam bulan Dzulhijjah terdapat dua keistimewaan. Yaitu, Dzulhijjah termasuk bulan-bulan haji, yang padanya terdapat hari Idul Adha. Dan yang kedua, karena Dzulhijjah termasuk bulan-bulan haram.

  1. Bulan Rajab adalah bulan yang diagungkan oleh orang-orang Jahiliyah, yakni mereka mengharamkan perang pada bulan-bulan tersebut, sebagaimana pada bulan-bulan haram lainnya. Kaum muslimin berbeda pendapat tentang haramnya berperang pada bulan ini.

Sebagian ulama berpendapat, bahwa haramnya berperang pada bulan ini adalah mansukh (telah dihapus hukumnya) dan boleh memulai berperang. Yaitu memerangi orang-orang kafir pada bulan Rajab dan bulan-bulan haram lainnya, karena adanya dalil-dalil yang umum dalam masalah ini.

Akan tetapi pendapat yang benar, bahwa memulai berperang pada bulan Rajab hukumnya haram. Namun jika mereka (musuh, Red.) memerangi kita, atau perang tersebut merupakan kelanjutan dari bulan-bulan sebelumnya, maka tidaklah mengapa.

  1. Bulan Rajab diagungkan oleh orang-orang Jahiliyah dengan berpuasa. Akan tetapi tidak ada dalil yang shahih dari Nabi dalam masalah mengkhususkan puasa pada bulan Rajab ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa 25/290 berkata: “Berpuasa pada bulan Rajab secara khusus diriwayatkan dari hadits-hadits yang semuanya dha’if, bahkan palsu. Sedikitpun tidak diakui oleh para ulama. Tidak termasuk dha’if yang diriwayatkan di dalam fadha’ilul a’mal, bahkan seluruhnya adalah maudhu’ …,” Hingga Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Telah diriwayatkan dari Umar dengan jalan yang shahih. Bahwa Umar memukul tangan-tangan kaum muslimin, sehingga mereka meletakkannya di atas makanan pada bulan Rajab, sambil mengatakan,”Janganlah kalian menyerupakannya dengan bulan Ramadhan.”

Dan suatu ketika, Abu Bakar Ash Shiddiq masuk ke rumahnya, dan melihat keluarganya telah membeli satu bejana tempat air. Mereka bersiap-siap untuk berpuasa. Kemudian beliau bertanya,”Untuk apakah ini?” Mereka menjawab,”Untuk berpuasa pada bulan Rajab.” Beliau berkata,”Apakah kalian ingin menyerupakannya dengan bulan Ramadhan?” Kemudian beliau memecahkan bejana tersebut.

Al Hafizh Ibnu Rajab menyebutkan atsar dari Umar, seperti yang disebutkan dalam Majmu Fatawa. Beliau menambahkan: “Dahulu, bulan Rajab begitu diagungkan oleh orang Jahiliyah. Ketika datang Islam, kemudian ditinggalkan”.

  1. Bulan Rajab diagungkan oleh bangsa Arab. Mereka mengerjakan umrah pada bulan ini. Karena mereka pergi haji pada bulan Dzulhijjah. Sedangkan Rajab adalah pertengahan tahun yang dihitung dari Muharram. Oleh karena itu, mereka mengerjakan umrah, agar Ka’bah menjadi makmur dengan orang yang haji dan umrah pada pertengahan dan akhir tahun.

Ibnu Rajab di dalam Al Latha’if berkata: Disunnahkan oleh Umar untuk umrah pada bulan Rajab. Dan dahulu, ‘Aisyah dan Ibnu Umar mengerjakannya. Ibnu Sirin menukilkan, bahwa dahulu, para salaf mengerjakannya.[1]

  1. Pada bulan Rajab terdapat shalat yang dinamakan dengan Shalat Raghaib. Dikerjakan malam Jum’at pertama antara Maghrib dan Isya’, sebanyak 12 raka’at dengan sifat yang aneh, sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar di dalam kitab Tabyinul ‘Ajab Bima Warada Fi Fadhli Rajab.

An Nawawi di dalam Syarah Al Muhadzdzab 3/548, berkata: “Shalat yang dikenal dengan shalat Raghaib, yaitu 12 raka’at, dikerjakan antara Maghrib dan Isya’ pada malam Jum’at pertama bulan Rajab, dan demikian pula shalat Nishfu Sya’ban 100 raka’at. Kedua macam shalat ini adalah bid’ah yang munkar. Janganlah engkau tertipu dikarenakan kedua shalat ini disebutkan di dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya’ Ulumuddin. Semua hadits-hadits yang disebutkan di dalamnya adalah batil. Jangan tertipu dengan sebagian ulama yang terkena syubhat dalam masalah ini, yang mengarang suatu risalah disunnahkannya shalat ini; karena mereka salah dalam masalah ini. Dan Al Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Isma’il Al Maqdisi telah mengarang kitab yang menerangkan mengenai batilnya dua shalat tersebut”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam Majmu Fatawa 23/124, berkata: “Menurut kesepakatan ulama, shalat Raghaib adalah bid’ah, tidak disunnahkan oleh Rasulullah dan (tidak pula) oleh seorangpun dari Khulafaur Rasyidin. Dan tidak dianggap sebagai sunnah oleh para imam, seperti Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, Ats Tsaury, Al Auza’i, Al Laits dan yang lainnya. Sedangkan menurut kesepakatan ahlul hadits, hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini adalah palsu”.

Ibnu Rajab di dalam Al Latha’if, berkata: “Tidak ada (riwayat) yang sah pada bulan Rajab suatu shalat tertentu. Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan tentang keutamaan shalat Raghaib pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab adalah palsu dan tidak shahih”.

Beliau (Ibnu Rajab) berkata: “Para ulama mutaqaddimin tidak menyebutkannya, karena hal ini ada dan muncul sesudah zaman mereka”. Pertama kali dikenal setelah tahun 400-an hijriah, sehingga tidak dikenal oleh ulama mutaqaddimin.
Asy Syaukani di dalam Al Fawa’id Al Majmu’ah, halaman 48, berkata: “Para huffazh telah sepakat, bahwasanya shalat Raghaib adalah berdasarkan hadits yang palsu. hingga beliau berkata,’Kepalsuan haditsnya tidak diragukan lagi oleh orang yang memiliki sedikit pemahaman terhadap hadits’.

Al Fairuz Abadi di dalam Al Mukhtashar, berkata, bahwa hadits tersebut palsu berdasarkan kesepakatan ulama. Demikian pula dikatakan oleh Al Maqdisi.

Asy Syaukani menyebutkan di dalam kitab tersebut satu hadits tentang keutamaan shalat pada malam pertengahan bulan Rajab, kemudian beliau mengomentari: “Diriwayatkan oleh Al Jauzqani dari Anas secara marfu’. Tetapi hadits ini adalah maudhu’, dan para rawinya adalah orang-orang majhul”.

  1. Pada bulan Rajab, banyak orang datang ke kota Madinah untuk berziarah. Mereka menamakannya “Rajabiyah”. Mereka berkeyakinan, bahwa hal ini sebagai sunnah mu’akkadah. Mereka pergi untuk berziarah ke beberapa tempat. Sebagian dari ziarah ini disyari’atkan, seperti ziarah ke masjid Nabawi, ke masjid Quba’, ke kubur Nabi, dan kubur dua orang sahabatnya (Abu Bakar dan Umar, serta kubur para syuhada’ Uhud). Dan (ziarah ini) ada yang tidak di syari’atkan, seperti ziarah ke masjid yang dinamakan masjid Ghamamah, masjid kiblatain dan masjid-masjid yang tujuh.

Ziarah Rajabiyah ini tidak ada asalnya di dalam perkataan Ahlul Ilmi. ampaklah, hal ini baru saja muncul pada masa-masa terakhir ini.

Tidak diragukan lagi, bahwa masjid Nabawi merupakan satu diantara tiga masjid yang disyari’atkan untuk ziarah kepadanya, ya’ni Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha’. Akan tetapi, mengkhususkan ziarah pada bulan tertentu, atau hari tertentu, maka hal ini memerlukan dalil, dan (sesungguhnya) tidak ada dalil yang mengkhususkan bulan Rajab dengan hal itu. Sehingga, meyakininya sebagai sunnah untuk mendekatkan diri kepada Allah pada bulan ini, adalah termasuk bid’ah yang tertolak. Karena sabda Rasulullah:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintah kami, maka dia akan tertolak.

Dalam lafadz yang lain:

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara kami yang tidak ada perintah darinya, maka dia tertolak. (Yakni ditolak dari pelakunya).

  1. Pada bulan Rajab, terjadi peristiwa Isra’ dan Mi’raj, sebagaimana telah masyhur di kalangan kaum muslimin pada masa-masa terakhir ini, (yang terjadi) pada malam ke 27. Mereka mengadakan beberapa perayaan. Dan barangkali mereka menjadikan hari itu sebagai hari libur resmi. Padahal hal ini memerlukan penelitian dua masalah yang penting. Pertama, dari segi tarikh (kepastian peristiwa). Kedua, apakah dengan mengadakan perayaan ini termasuk ibadah?

Masalah yang pertama, para ulama telah berselisih pendapat. Ibnu Katsir menyebutkan di dalam kitab Al Bidayah Wan Nihayah 3/119, Cetakan Al Fajjalah, dari Az Zuhri dan Urwah: “Bahwa Isra’ Mi’raj terjadi satu tahun sebelum Nabi hijrah ke Madinah”. Yakni pada bulan Rabi’ul Awwal.

Dari As Suddi, beliau berkata: “Terjadi 16 bulan sebelum hijrahnya Rasulullah ke Madinah”. Yakni pada bulan Dzulqa’dah.

Al Hafizh Abdul Ghani bin Surur Al Maqdisi membawakan satu hadits, namun tidak sah sanadnya, bahwasanya Isra’ Mi’raj (terjadi) pada malam 27 bulan Rajab.

Sebagian orang berkeyakinan, bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada malam Jum’at pertama bulan Rajab. Mereka menamakan malam raghaib, yang disyari’atkan untuk shalat (shalat Raghaib), padahal tidak ada dalilnya. Wallahu a’lam. Sampai disini perkataan Ibnu Katsir.

As Saffarini menyebutkan di dalam Syarah Aqidah-nya 2/280, dari Al Waqidi dari rijalnya: Bahwa Isra’ Mi’raj (terjadi) pada malam Sabtu, 17 Ramadhan tahun ke12 dari kenabian, 18 bulan sebelum hijrah. Dan diriwayatkan pula dari para gurunya, mereka berkata: Rasul diisra’kan pada malam 17 bulan Rabi’ul Awwal, satu tahun sebelum hijrah. Abu Muhammad Ibnu Hazm mengaku adanya Ijma’. Demikian ini pendapat Ibnu Abbas dan ‘Aisyah.

Kemudian As Saffarini menyebutkan satu perkataan dari Ibnul Jauzi: Isra’ Mi’raj terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal, atau Rajab, atau Ramadhan.

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari 7/203, bab Al Mi’raj, dari Shahih Al Bukhari : Bahwa perbedaan ulama dalam masalah ini (terdapat) lebih dari 10 pendapat.

Diantaranya, satu tahun sebelum hijrah. Demikian ini pendapat Ibnu Sa’ad dan lainnya, dan (yang) dianggap tepat oleh An Nawawi.

Pendapat yang lain, 8 bulan sebelum hijrah, atau 6 bulan, atau 11 bulan, atau 1 tahun 2 bulan, atau 1 tahun 3 bulan, atau 1 tahun 5 bulan, atau 18 bulan, atau 3 tahun sebelum hijrah, atau 5 tahun.

Ada (pula) pendapat yang mengatakan, terjadi pada bulan Rajab. Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr, dan dikuatkan oleh An Nawawi di dalam kitab Raudhah. Akan tetapi sebagian ulama tidak menjumpainya di dalam Raudhah.

Syaikhul Islam berkata, seperti dinukil oleh muridnya Ibnul Qoyyim di dalam Zaadul Ma’ad, ketika menyebutkan keistimewaan hari-hari dan bulan tertentu daripada yang lainnya, beliau menjawab: “Orang yang mengatakan bahwa malam Isra’ lebih mulia daripada malam lailatul qadar, yakni dia berkeyakinan bahwa shalat dan berdo’a pada malam Isra’ yang dikerjakan setiap tahunnya lebih afdhal, maka pendapat ini adalah batil. Belum pernah dikatakan oleh seorangpun dari ummat ini. Sangat jelas kebatilannya menurut agama Islam. Hal ini, jika telah diketahui waktu terjadinya malam Isra’ mi’raj dengan pasti. Namun, bagaimana jika belum diketahui dalil ynag menetapkan bulannya atau detailnya? Bahkan nukilan-nukilan dalam masalah ini terputus dan berbeda-beda. Tidak terdapat kepastian padanya, dan tidak disyari’atkan bagi kaum muslimin untuk mengkhususkan suatu shalat atau ibadah lainnya pada malam yang diyakini sebagai malam Isra’ dan Mi’raj …, hingga beliau berkata: Tidak seorangpun dari kaum muslimin yang meyakini malam Isra’ lebih lebih baik dari yang lainnya, terlebih dengan malam lailatul qadar. Demikian pula para shahabat dan tabi’in, mereka tidak mengkhususkan malam ini, dan mereka tidak mengenalnya. Bahkan tidak dikenal kapan terjadinya malam itu”.

Ini masalah pertama yang ada kaitannya dengan Isra’ Mi’raj. Telah jelas bahwa malam tersebut belum diketahui kapan terjadinya.

Adapun masalah yang kedua, yaitu menjadikan malam tersebut sebagai ‘id, yang dirayakan dan diadakan muhadharah, serta dibacakan hadits-hadits yang dha’if atau palsu tentang kisah Isra’ Mi’raj. Maka, tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan bid’ah yang diada-adakan di dalam agama Islam. Apabila seseorang berlepas diri dari hawa dan mengetahui dengan sebenarnya, maka perayaan-perayaan seperti ini tidak pernah dikenal pada zaman sahabat dan para tabi’in. Dalam Islam tidak ada hari raya, kecuali tiga. Yaitu idul fithri dan idul adha. Keduanya adalah ‘id yang berulang setiap tahun, sedangkan yang ketiga adalah hari Jum’at, hari raya setiap pekan. Tidak ada hari raya selain tiga ini.

Hendaknya diketahui, bahwa ittiba’ Rasulullah yang sebenarnya adalah dengan berpegang teguh terhadap sunnahnya, mengerjakan yang Beliau kerjakan, meninggalkan sesuatu yang Beliau tinggalkan. Barangsiapa menambah atau mengurangi, maka telah berkurang kadar mutaba’ahnya (ketaatan) kepada Rasulullah. Menambah (permasalahan) di dalam agama lebih berat …………, karena mendahului Allah dan RasulNya. Orang yang berakal, adalah orang yang mengetahui bahwa perbuatan seperti ini merupakan bencana yang besar. Sehingga seorang mukmin yang sempurna adalah orang yang beribadah kepada Allah dengan syari’at Rasulullah. Dan seseorang mempunyai kekurangan yang besar, apabila ia menambah (sesuatu) pada syari’at Allah dan RasulNya.

Hendaknya seorang mukmin berhati-hati dari perbuatan bid’ah yang dianggap baik oleh hawa nafsunya. Karena Nabi memperingatkan kita dari hal itu, dan Beliau menyampaikannya dalam khutbah Jum’at. Beliau berkata:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Adapun sesudah itu, maka sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah sesat. (Seperti ini diriwayatkan dalam Shahih Muslim. Dan dalam riwayat An Nasa’i (disebutkan):

وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Dan setiap kesesatan adalah di neraka.

Saya berdo’a kepada Allah untuk meneguhkan kita dengan perkataan yang kuat di dunia maupun di akhirat. Dan semoga Allah melindungi kita dari berbagai fitnah, baik yang nampak maupun yang tersembunyi. Sesungguhnya Dia Maha Pemberi dan Maha Pemurah.

Tanggal 11 Rabi’ul Awwal 1425H, bertepatan tanggal 1 Mei 2004M.

(Makalah ini merupakan penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin, yang diangkat dari muhadharah beliau di Universitas Jami’ah Islamiyah, … pada tanggal 9 Rajab tahun 1419H, kemudian disusun dalam sebuah risalah yang berjudul At Tamassuk Bi Sunnah Wa Atsaruhu, dan diterjemahkan dengan sedikit ta’liq (tambahan) oleh Ustadz Abu Sulaiman Aris S)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VIII/1425H/2004 M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh berkata: “Bahwasanya para ulama mengingkari pengkhususan adanya memperbanyak ibadah umrah pada bulan Rajab”. Dan Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz At Tuwaijiri di dalam kitab Al Bida’ Al Hauliyah, halaman 238, berkata: “Yang rajah, menurut saya -wallahu a’lam- bahwasanya mengkhususkan bulan Rajab dengan umrah itu tidak ada asalnya, karena tidak ada dalil syar’i yang mengkhususkannya. Dan Rasulullah tidak pernah mengerjakan umrah pada bulan Rajab. Seandainya hal ini terdapat keutamaan, pasti Beliau menganjurkan ummatnya, karena Beliau orang yang bersemangat untuk (berbuat) kebaikan, sebagaimana Beliau menganjurkan untuk mengerjakan umrah pada bulan Ramadhan. Adapun yang dikatakan sunnah oleh sahabat Umar bin Khathab, maka saya belum menemukan sanadnya. Dan yang dinukil oleh Ibnu Sirin, bahwa para salaf dahulu mengerjakannya, maka tidak terdapat dalil yang mengkhususkan umrah pada bulan Rajab. Karena maksud mereka tidak untuk mengkhususkan bulan Rajab dengan ibadah umrah, tetapi maksud mereka -wallahu a’lam- ialah untuk mengerjakan haji pada satu kali safar dan mengerjakan umrah pada safar tersendiri, untuk menyempurnakan haji dan umrah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rajab dalam uraiannya yang dinukil Ibnu Sirin dari para salaf”.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3089-beberapa-kesalahan-yang-terjadi-pada-bulan-rajab.html